- A. Pengertian Agama Dan Masyarakat
Masyarakat adalah suatu sistem
sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Sedangkan agama
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga
disebut dengan nama Dewa
atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang
berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Sedangkan Agama di Indonesia memegang
peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi
bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia
berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1%
dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3%
Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4%
kepercayaan lainnya.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Dengan banyaknya agama maupun aliran
kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak
terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan
penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program
transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di
wilayah timur Indonesia.
Berdasar sejarah, kaum pendatang telah
menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri
dengan pendatang dari India,
Tiongkok, Portugal, Arab,
dan Belanda.
Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk
menyesuaikan kultur di Indonesia.
Berdasarkan Penjelasan Atas
Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama pasal 1, “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di
Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu
(Confusius)”.
- Islam : Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera. Masuknya agama islam ke Indonesia melalui perdagangan.
- Hindu : Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit.
- Budha : Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu.
- Kristen Katolik : Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Dan pada abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.
- Kristen Protestan : Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eopa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda.
- Konghucu : Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitik beratkan pada kepercayaan dan praktik yang individual.
- A. Fungsi-Fungsi Agama
Tentang Agama
Agama bukanlah suatu entitas
independen yang berdiri sendiri. Agama terdiri dari berbagai dimensi yang
merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat berdiri tanpa yang lain.
seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam lima dimensi komitmen.
Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi seorang penganut agama
tertentu dengan adanya perilaku dan keyakinan yang merupakan wujud komitmennya.
Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima dimensi komitmen ini
menjadikannya religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh. Kelimanya terdiri
dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang melambangkan
(lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran agama. Agama mengajarkan
tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang baik dan yang buruk.
Agama berasal dari Supra Ultimate
Being, bukan dari kebudayaan yang diciptakan oleh seorang atau sejumlah orang.
Agama yang benar tidak dirumuskan oleh manusia. Manusia hanya dapat merumuskan
kebajikan atau kebijakan, bukan kebenaran. Kebenaran hanyalah berasal dari yang
benar yang mengetahui segala sesuatu yang tercipta, yaitu Sang Pencipta itu
sendiri. Dan apa yang ada dalam agama selalu berujung pada tujuan yang ideal.
Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada keselamatan. Ajaran yang
ada dalam agama memuat berbagai hal yang harus dilakukan oleh manusia dan
tentang hal-hal yang harus dihindarkan. Kepatuhan pada ajaran agama ini akan
menghasilkan kondisi ideal.
Mengapa ada yang Takut pada Agama?
Mereka yang sekuler berusaha untuk
memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Mereka yang marxis sama sekali
melarang agama. Mengapa mereka melakukan hal-hal tersebut? Kemungkinan besarnya
adalah karena kebanyakan dari mereka sama sekali kehilangan petunjuk tentang
tuntunan apa yang datang dari Tuhan. Entah mereka dibutakan oleh minimnya
informasi yang mereka dapatkan, atau mereka memang menutup diri dari segala hal
yang berhubungan dengan Tuhan.
Alasan yang seringkali mereka
kemukakan adalah agama memicu perbedaan. Perbedaan tersebut menimbulkan
konflik. Mereka memiliki orientasi yang terlalu besar pada pemenuhan kebutuhan
untuk bersenang-senang, sehingga mereka tidak mau mematuhi ajaran agama yang
melarang mereka melakukan hal yang menurutnya menghalangi kesenangan mereka,
dan mereka merasionalisasikan perbuatan irasional mereka itu dengan justifikasi
sosial-intelektual. Mereka menganggap segi intelektual ataupun sosial memiliki
nilai keberhargaan yang lebih. Akibatnya, mereka menutup indera penangkap
informasi yang mereka miliki dan hanya mengandalkan intelektualitas yang serba
terbatas.
Mereka memahami dunia dalam batas
rasio saja. Logika yang mereka miliki begitu terbatasnya, hingga abstraksi
realita yang bersifat supra-rasional tidak mereka akui. Dan hasilnya, mereka
terpenjara dalam realitas yang serba empiri. Semua harus terukur dan terhitung.
Walaupun mereka sampai sekarang masih belum memahami banyaknya fungsi alam yang
bekerja dalam mekanisme supra rasional, keterbatasan kerangka berpikir yang
mereka miliki menegasikan semua hal yang tidak dapat ditangkap secara inderawi.
Padahal, pembatasan diri dalam
realita yang hanya bersifat empiri hanya akan membatasi potensi manusia itu
sendiri. Dan hal ini menegasikan tujuan hidup yang selama ini diagungkan para
penganut realita rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan segala potensinya.
Agama, dengan sandaran yang kuat
pada realitas supra rasional, membebaskan manusia untuk mengambil segala hal
yang terbaik yang dapat dihasilkannya dalam hidup. Semua-apakah hal itu
bersifat empiri-terukur, maupun yang belum dapat diukur. Empirisme bukanlah
suatu hal yang ditolak agama. Agama yang benar, yang bersifat universal,
mencakup segi intelektual yang luas, yang diantaranya adalah empirisme. Agama
tidak mereduksi intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun
kualitas suatu idea. Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia tentang
bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan dengan sebesar-besarnya. Dan
sejarah telah membuktikan hal tersebut.
Kesalahan yang dibuat para penilai
agama-lah yang kemudian menyebabkan realita ajaran ideal ini menjadi terlihat
buruk. Beberapa peristiwa sejarah yang menonjol mereka identikan sebagai
kesalahan karena agama. Karena keyakinan pada ajaran agama. Padahal, kerusakan
yang ditimbulkan adalah justru karena jauhnya orang dari ajaran agama.
Kerusakan itu timbul saat agama-yang mengajarkan kemuliaan- disalahgunakan oleh
manusia pelaksananya untuk mencapai tujuan yang terlepas dari ajaran agama itu
sendiri, terlepas dari pelaksanaan keseluruhan dimensinya.
- B. Pelembagaan Agama
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan
agama? Kami mengurapamakan sebagai sebuah telepon. Jika manusia adalah suatu
pesawat telepon, maka agama adalah media perantara seperti kabel telepon untuk
dapat menghubungkan pesawat telepon kita dengan Telkom atau dalam hal ini
Tuhan. Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan
berjalan menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama. Penduduk
Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari lima agama
resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas
kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan penganut agama
suku ke salah satu agama resmi itu banyak yang tidak murni.
Sejarah mencatat bahwa tidak jarang
terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui “perselingkuhan”
antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan.
Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau
pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi
sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan
(kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah lain.
Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak
suka) menjadi penganut agama penguasa baru.
Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi
di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa
pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi” saling
memanfaatkan berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal
penganut di luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di
luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah
satu dari lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum
selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi
hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan
keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam
kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang
dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis,
umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula
pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah
dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan
siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif.
Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi
kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desadesa.
Demi pariwisata yang mendatangkan
banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka upacarav-upacara adat yang
notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah.
Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh
sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar.
Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut
angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di
kotapun menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering
ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya
pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan
suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan
pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau
pimpinan agama.
Sumber:
Ringkasain
MKDU Ilmu Sosial Dasar